Dosen Mesum Sugiono & Senior Sok Jago

J.S. Khairen
5 min readNov 13, 2021

Sebuah Cerpen. Oleh J.S. Khairen.

Juwisa mengetuk pintu ruang bimbingan. Di sana, sudah menanti dosen Sugiono dengan kumisnya yang naik turun. Rekan-rekan sesama mahasiswa Kampus UDEL, dan juga para senior sudah mengingatkan pada Juwisa, alias Si Ubin Masjid itu, agar berhati-hati.

“Permisi pak, mau bimbingan.” Juwisa mengeluarkan nada rendah, namun tetap penuh hormat.

“Silakan, silakan.” Sugiono mempersilakan, mendorong sebuah kursi sambil melepuh-lepuhkan asap rokoknya.

Juwisa menutup hidungnya karena ruangan dipenuhi asap rokok. Melihat itu, Sugiono tak peduli. Ia tetap seisap dua isap puah puah nyammmm. Jelas-jelas petinggi kampus buat peraturan, area gedung belajar bebas asap rokok. Sudah ada kantin atau area merokok yang disediakan padahal. Namun hai namanya Sugiono, baginya, ruangan itu adalah takhtanya. Maka, peraturannya dia sendiri yang buat.

“Sa… saya mau bimbingan pak.” Juwisa menyerahkan sebuah map berwarna kuning-kuning hambar, berisi beberapa jurnal yang ia dapatkan, juga potongan draft skripsinya.

Sugiono mengambil map itu, tapi tangannya ia sengaja dekat-dekatkan ke tangan Juwisa. Menyadari itu, Juwisa malah menjauh-jauhkan.

“Mau bimbingan apa tidak?” Tanya Sugiono, kali ini dengan nada mengancam.

“I… iya mau pak.”

Tepat saat itu, Sugiono menarik tangan Juwisa. Menggenggamnya lama sekali sambil tersenyum. “Gitu dong manis, lihat bapak dulu sini.” Sugiono mengangkat paksa dagu Juwisa. Setelah itu, ia hampir mendaratkan tangannya ke dada Juwisa. Untung saja Juwisa cekatan, proses pendaratan itu tak jadi.

Selepas bimbingan, Juwisa lari ke kos-kosannya dengan gemetar ketakutan. Ia adalah anak rantau. Tak banyak teman, pendiam. Ia belajar lurus-lurus saja. Tak banyak cincong. Mau mengadu atas kejadian barusan, pada siapa? Ayahnya jauh di kampung halaman. Pada teman atau pendidik lain? Ia takut ditertawakan. Ia sudah malu. Harga dirinya hancur. Ia ingin ganti saja dosen pembimbingnya. Bukan lagi Dosen Sugiono.

*

Sania terlambat datang ke kelas. Tadi subuh-subuh sekali, ia harus bantu kedua orangtuanya mendorong gerobak ke pasar. Mereka berjualan sayur mayur. Sejak orang-orang masih belum bangun, Sania sudah sampai di pasar. Setelah itu, ia harus ke kampus mengejar kuliah pagi.

Biasanya Sania tak terlambat ke kampus. Tapi karena pagi ini hujan, jalanan macet, maka jarak dari pasar ke kampusnya jadi terasa jauh sekali. Ia terlambat sepuluh menit. Ada sedikit bercak hujan di pundaknya. Rambutnya basah sebagian. Sania masuk ke kelas sambil meminta maaf.

Dosen itu mengangguk. Sambil memperhatikan bagian panggul Sania yang juga sedikit basah kena hujan.

Di depan kelas itu, berdiri seorang dosen bernama Jaharizal. Ia terkenal suka menjual buku cetak dengan harga sepuluh kali lipat pada mahasiswa. Kalau tidak beli sama dia, maka siap-siap dapat nilai E. Namanya yang Jaharizal, kadang diplesetkan oleh mahasiswa jadi Jahatrizal. “Pak Jahat, Pak Jahat,” kata mahasiswa.

Tibalah sesi tanya jawab di kelas.

“Sania, kamu coba jawab. Jelaskan etika bisnis yang harus dimiliki perusahaan tambang!”

Sania menjawab tidak rapi. Sebagian bisa ia jawab, sebagian tidak. Nah, saat tidak bisa menjawab inilah, Dosen Jaharizal mendekat.

“Kamu basah-basah gitu gak kedinginan? Sini bapak angetin?”

Sebagian kecil kelas tertawa pelan, sebagian besar diam saja. Di dada sebagian besar yang diam itu, mereka seperti ingin menghantam kepala Jaharizal saat itu juga. Tapi mereka tak berani. Nanti masuk penjara satu kelas kan tidak lucu pula.

“Kalau udah bapak angetin, nanti kamu bisa loh, jawab soalnya.”

Mendengar itu, Sania mendongakkan kepalanya. Ia adalah anak pasar. Soal mental, jangan diuji. Apa lagi kalau ia dilecehkan begini.

“Maksud lo apa?” Tanyanya, tanpa ba-bi-bu. Memanggil dosen dengan sebutan lo, adalah pertanda ia sudah muak sekali.

“Eits, eits, galak. Suka nih saya yang agresif gini.” Canda Jaharizal lagi.

Sania hendak memukul dosennya itu. Tapi tangannya ditahan oleh rekannya di sebelah. Sania geram sebentar, lalu mengambil tasnya dan pergi dari kelas itu.

Saat pergi itulah, Jaharizal menepuk pelan bokong Sania. Plakkk.

“Besok jangan galak-galak lagi ya sayang.”

Sejak usia tujuh tahun, Sania dan ayahnya yang orang pasar. Ia sudah terbiasa melihat copet, mengejarnya, menghajar mereka, dan segala macam. Maka, di pagi yang hujan ini, Jaharizal berubah jadi samsak hidup.

Besoknya, Sania dan Jaharizal, disuruh berdamai oleh kepala jurusan.

“Banyak pak, mahasiswa yang digenitin sama dia!” Bentak Sania di depan kepala jurusan, dan di depan Jaharizal.

“Aduh Sania, kamu kalau mau jadi tukang smack down, jangan di kampus ini deh. Lagian dibecandain itu aja kok baper. Makanya, bawa payung. Biar gak basah, gak nyeplak, gak dibecandain.” Kata dekan.

Mendengar itu, Jaharizal malah tertawa. “Yaudah skorsing berapa lama nih pak? Saya gak terima nih, muka saya bonyok gini.”

Sania hanya bisa kelu dan beku mendengar ucapan dekannya. Malah ia yang disalahkan karena kebasahan sedikit kena hujan. Ada banyak mahasiswa dan mahasiswi lain yang juga kena hujan juga padahal.

*

Lira turun dari mobilnya. Ini adalah hari pertama Lira menjadi dosen di Kampus UDEL. Ia adalah lulusan doktoral dari luar negeri. Usianya masih terbilang muda, sekitar dua puluh tujuh, dua puluh sembilan tahun.

Setelah turun, Lira menuju ruang dosen sambil melewati parkiran motor. Kampus ini masih asing baginya.

Di parkiran motor itu, ia bertanya pada sekelompok mahasiswa.

“Maaf, boleh tahu di mana ruang…”

“Kiw kiw, acuwiwit acuwiwitttt.”

Belum selesai Lira bertanya, sekelompok mahasiswa itu sudah kiw kiw acuwiwit.

“Nanya apa cantik? Sini sama abang, maba ya? Boleh kali jatah senior.”

Lira yang tak terima, dan dia memang pemberani juga, langsung mengancam balik.

“Nama kamu siapa?” Bentak Lira.

“Uhuyyy. Manggilnya kamu-kamu. Udah minta jatah langsung aja neng.”

“Kamu juga, siapa?”

“Cantik, cantik. Mau tahu nama gue?” Si senior sok jago itu membentangkan kedua tangannya, seperti hendak mencengkeram Lira.

Lira tak mundur sejengkal pun. “Saya Lira Estrini Ph.D.”

“Elah. Sok-sok Ph.D., bocah cabe-cabean SMA mana lo dulu? Dandan lo tapi oke sih ini, minimalis-minimalis natural gini. Jatah senior ya, jangan lupa. Mana sini nomer hape lo.” Ia hendak membelai wajah Lira.

Tepat sejengkal sebelum ia membelai Lira, tangan itu ditepuk dan ditarik dari arah belakang. Seorang teman si mahasiswa sok jago yang melakukannya. Ia sudah sadar lebih dulu mendengar nama Lira Estrini Ph.D.

“Ma… maaf bu. Ka… kami gak tahu.” Ia langsung lari terbirit-birit.

“Ucapkan selamat tinggal untuk kampus ini, para senior sok jago!” Lira menyorot dengan mata tajam.

*

Tiga itu baru sedikit kisah di Kampus UDEL. Ya, itu baru sedikit. Tahun lalu, seantero kampus juga sudah tahu, ada seorang senior yang terpaksa berhenti kuliah, karena depresi. Ia menangis sejadi-jadinya sepanjang siang malam. Ia merarau di kamar kostnya, terdengar jauh sampai ke gang-gang luar. Ia merasa tak lagi ada harga diri. Penyebabnya? Karena ia dicium seorang dosen.

“Ini saya cuma gatal-gatal aja bibir saja, ga bisa garuk sendiri. Pakai bibir kamu ya.”

Cup.

Satu adegan kecupan kilat terjadi. Si senior tak mau itu terjadi. Ia tak pernah menginginkan hal itu. Tapi dosennya ini sat set sat set, pandai betul mengakali situasi. Menganggap si mahasiswi mau-mau saja. Mentang-mentang dia dosen, seenaknya saja dia berlaku.

Si senior ini kemudian melapor ke pihak kampus. Tahu apa yang terjadi? Dia malah dituding “Kenapa kamu mau dicium, kenapa tidak berontak, kenapa tidak tendang selangkangan dosennya?”

“Soalnya saya diancam, nilai saya akan jadi Z!”

Di kampus UDEL, nilai Z itu sudah di bawah E dan T. Jika nilai E itu berarti dapat angka 1, T itu angka 0, Z itu angkanya minus. Alias dia jadi ngutang SKS.

TAMAT.

Juwisa, Sania, Kampus UDEL, Lira, Areng Sukoco, adalah tokoh2 fiktif dari universe novel ‘Kami (Bukan) Sarjana Kertas,’ ‘Kami (Bukan) Fakir Asmara,’ ‘Kami (Bukan) Jongos Berdasi, dan ‘Kami (Bukan) Generasi Bac*t.”

Apa bila ada kesamaan kisah dengan dunia nyata, itu sungguh sesuatu yang tak disengaja. Penulis meriset ini dari sebuah negara bernama NAKAL, alias Negara Kesatuan Adat Lawaknesia.

Salam, J.S. Khairen.

--

--

J.S. Khairen

📒 Novelis yang membuatmu candu 📝 Daftar karya & cara memiliki buku: link di bio (buku fisik & ebook) 📱CP 081212134951 | linktr.ee/jskhairen