Guru Berkesan Baik & Buruk

J.S. Khairen
4 min readNov 25, 2021

Masih ingat guru yang begitu berkesan bagimu hingga sekarang? Entah itu kesannya baik, atau buruk?

Saya punya keduanya. Mulai dari yang kesan buruk dulu ya, ada tiga. Hehe, banyak juga ya. Apa jangan-jangan memang saya ini dulu murid bandel? Tapi baiklah, begini cerita kesan buruknya. Ada di SD, SMP, dan SMA.

Saat SD, tulisan tangan saya ini jelek sekali. Tidak bisa dibaca. Akhirnya, guru saya yang menyerah, memanggil saya ke depan, memberi nilai kerapian saya dengan nilai empat. Wah, ini buruk sekali. Teman-teman yang lain, seburuk apa juga mereka, minimal dapat enamlah. Saya masa dapat empat?

“Tulisan kamu ini cakar ayam!” Kata guru saya. Menyamakan saya dengan ayam.

Tidak berhenti di situ. Setelah mendapat pujian seperti ayam, saya disuruh berdiri di depan kelas sampai jam sekolah beres. Berdiri dengan satu kaki, sambil tangan memegang kedua telinga saya secara silang menyilang.

Bayangkan seorang anak kecil, disuruh melakukan ini sepanjang hari, tanpa ampun, sampai pulang sekolah. Kalau saya harus ingat kejadian hari itu, pedih sekali rasanya.

Oh ya, hari ini, si anak itu jadi penulis novel. Sudah menerbitkan 14 karya, sebagian besarnya national bestseller, dan akan terus lahir karya-karya berikutnya. Semoga juga akan terus jadi karya yang baik.

Saat SMP kelas satu. Entah bagaimana caranya, saya terpilih jadi wakil ketua kelas. Dan hari itu, ketua kelas saya tidak masuk. Sakit atau entah kenapa, saya lupa. Maka, saya yang tak terbiasa mengatur-atur kelas, jadi tiba-tiba harus menenangkan kelas.

Kelas kami ribut, karena guru-guru sedang rapat. Saya yang agak bodo amat, ya malas sekali harus mengatur-atur. Apa lagi anak-anak yang bandel, preman sekolah, dsb. Tapi akhirnya saya lakukan. Kelas menjadi tenang. Caranya? Saya datangi saja meja teman-teman saya itu, saya bilang tolong jangan ribut. Nanti kelas kita kena sorot. Mereka mengiyakan, meski ada yang mencemooh tipis-tipis.

Kelas berhasil diam. Sialnya, saat saya kembali dari meja teman itu, guru PPKn kami datang. Lalu menuduh sayalah biang ribut di kelas itu. Saya sudah bilang, saya menenangkan kelas. Tapi si guru tidak percaya. Akhirnya saya dicubit sampai perut saya merah, bahkan menghitam. Sepanjang jam pelajaran, saya dimaki-maki. Teman-teman di kelas, tak ada yang berani bicara satu pun meluruskan. Saya juga takut sekali, sampai menangis.

Sampai di rumah, tentu orang tua saya lihat dan kaget. Perut kamu kenapa hitam? Saya ceritakanlah kejadiannya. Sungguh, di masa saya SD-SMP-SMA itu, kalau ada murid yang nakal, murid yang salah, kami tak berani lapor pada orangtua. Karena, di rumah justru akan tambah kena marah. Saya juga tahu, kalau saya salah mana mungkin berani lapor. Tapi inilah kejadiannya, saya dicubit padahal tidak salah.

Besoknya, orangtua saya menghadap ke kepala sekolah, dan sang guru juga dipanggil. Saya tak tahu apa yang jadi percakapan antara orangtua, guru dan kepsek, yang jelas, di pertemuan berikut-berikutnya, guru PPKn itu tak lagi mau lempar muka ke saya. Nilai saya juga tidak bagus di akhir tahun ajaran.

Lalu SMA. Ini tidak ada cerita kekerasan fisik. Lagi pula badan saya sudah membesar, gurunya juga mungkin takut. Namun, ceritanya justru tak kalah pahit dibanding saat SD dan SMP.

“Otak kamu ini isinya ingus semua ya?” Kata guru biologi saya. Kenapa beliau mengatakan itu? Karena, saya salah mengeja sebuah istilah biologi. Entah mitochondria, atau bachomiceta, saya lupa. Nah, huruf ch-nya itu harusnya dibaca seperti huruf ‘K,’ tapi lidah saya malah kepleset dan bilang ch.

Seketika itu juga, keluarlah kalimat tadi. “Otak kamu ini isinya ingus semua ya?” Persis begitu kalimatnya.

Hai wahai aduhai, saya yang masuk usia remaja tentu tidak terima. Saya pukul meja sekali, lalu saya kena ceramahi. Berlanjut di ruang kepala sekolah. Pada akhir semester, sudah tahu kan nasib saya? Terancam tinggal kelas. Karena guru ini, adalah WALI KELAS saya. Semua mata pelajaran IPA saya nilainya cukup atau malah bagus. Tapi pada biologi, hehe, sudah tahu kan ya, kira-kira seperti apa? Dan sejak saat itu, saya memutuskan masuk ke kelas IPS di kelas dua. Alhasil, di IPS justru saya diterima dengan baik, guru-gurunya asik, teman-temannya sangat solid. Bayangkan, kami adalah sekolah unggul, jadi anak-anak IPSnya sedikit.

Nah, itu tiga cerita saya tentang kesan buruk terhadap guru. Hehe, karena buruk sekali, makanya saya ingat terus. Kalau yang baik-baiknya? Wuihhhh buaaanyak betul. Mulai dari bu Tas, guru SD saya yang mau memegangkan tangan saya, saat tak bisa menulis huruf alfabet. Saya masih ingat sekali detail gerakan tangan beliau. Sampai, guru SMA saya bu Chadijah Gani, satu-satunya guru yang percaya, bahwa saya akan masuk Universitas Indonesia.

“Bu, saya boleh print gak surat kelulusan saya di UI ini? Saya mau kasih ke guru yang dulu bilang otak saya otak ingusan.” Kata saya pada bu Chadijah.

Bu Chadijah tertawa sejenak. Namun habis itu saya dimarahi. “Heh! Waang! Ndak usah! Itu juga guru waang kan? Memang betul kalau guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tapi resleting waang jangan copot. Itu copot resleting namanya. Sampaikan saja waang diterima di UI, jurusan manajemen ekonomi! Lalu minta terima kasih sama beliau.”

“Terima kasih untuk apa bu? Orang saya dibilang otak ingusan.”

“Waang marah kan dibilang begitu waktu itu? Itulah, pas waang marah itu, ingusnya keluar semua. Kalau ndak digitukan dulu, ingus waang masih ada sampai sekarang.”

Kami tertawa.

Saya kelak punya keinginan menuliskan novel tentang kisah guru-guru yang keren-keren di kehidupan saya. Termasuk ibu saya, yang juga seorang guru. Namun sayang, saya tak masuk sekolah beliau. Kata siswa-siswanya sih, seru sama ibu saya, tapi ya gak tahu deh. Kan saya ga pernah coba.

Selamat hari guru.

J.S. Khairen, penulis novel ‘Melangkah.’

--

--

J.S. Khairen

📒 Novelis yang membuatmu candu 📝 Daftar karya & cara memiliki buku: link di bio (buku fisik & ebook) 📱CP 081212134951 | linktr.ee/jskhairen