Pancingan

J.S. Khairen
14 min readFeb 24, 2021

Pancingan

Kenapa sempat singgah?

Waktuku yang terbuang kau balas dengan senyum kepolosan.

Senyum yang menikam, lebih tajam dari cakar harimau Bukit Barisan.

Tiga tahun berturut-turut, tiga juga teman satu gengku yang menikah. Hari ini, masih di tahun ketiga, teman keempat melaksanakan bridal shower. Maka, tinggallah aku dan Jessica yang belum ada tanda-tanda akan menikah.

Kalau Jessica sih, dia sudah banyak yang mau. Tinggal tentukan saja, dia mau fokus dan serius dengan yang mana. Masalahnya, dia punya prinsip cukup solid. Tak mau menikah. Atau kalau pun harus menikah, ya, tidak sekarang-sekarang.

Di hari bridal shower salah satu sahabatku ini, termenung juga aku dibuatnya.

“Gue sih sama kaya elo, Jess. Masih belum tuntas sama diri gue sendiri. Ntar ajalah nikah,” bisikku pada Jessica, mencari teman.

“Loh, bukan gitu sih maksud gue. Gue masih pengen S2 tahun depan, di luar negeri. Gak mau aja gue biarin keluarga gue kesusahan 2–3 tahun. Lo tahu gue lah, all in. Gak mau setengah-setengah. Pendidikan ya pendidikan, karir ya karir, keluarga ya keluarga. Kalau udah settle nih dua yang pertama, baru gue berani untuk mikirin yang ketiga. Ya, gak nikah pun, gue gak masalah sih.”

“Iya, itu gue juga gitu kok,” ungkapku membalas penjelasan panjang lebarnya.

“Wahhh, lo mau S2 juga?”

“Eh, nggak sih. Belum kepikiran.”

Maka langsung saja Jessica dengan antusias membicarakan program S2nya, peluang apa yang cocok untukku, bagaimana mencari jurusan dan mendapatkan beasiswa, hingga mengurus ini itu. Sesuatu yang aku sebetulnya tak benar-benar ingin dengar.

Acara itu selesai, satu nama sahabatku sudah tercoret dari daftar. Dia sudah menemukan tambatan hatinya, dan sebentar lagi menikah.

Aku pulang naik kereta. Kereta malam yang berlari di atas rel yang dingin. Di pintu yang lain, tampak sepasang kekasih bergenggaman tangan. Usia mereka sepertinya lebih muda 5–6 tahun dariku. Mungkin masih atau baru lulus kuliah.

Saat turun, lelakinya memberikan gesture mempersilakan turun duluan.

“Ladies first,” katanya dengan lemah lembut.

Sang kekasih mengulum senyumnya.

Ah, apa itu ladies first. Sebuah konsep chauvinisme dan katro! Masa dia mau-maunya dengan lelaki yang begitu. Menganggap perempuan selalu lemah dan harus diberikan hak istimewa.

Lihatlah aku. Bahkan di jam kereta yang sudah tidak terlalu ramai ini, aku memilih berdiri saja. Tak perlu memasang tampang belas kasihan, minta diberikan duduk pada kaum lelaki. Aku ini tidak lemah!

Nampaknya anak muda zaman sekarang, tak punya prinsip atas hal-hal fundamental. Bagiku, sikap-sikap manis seperti barusan itu sudah tak penting lagi. Lovey dovey tak bervisi, tidak lagi menarik hati.

Sesampai di rumah, kekesalanku bertambah.

“Besok kamu temani nenek, ya. Ibu ada jadwal periksa mata, nih.”

Aku tahu tak ada gunanya mengelak. Maka dengan nafas memburu, segera aku iyakan.

Esok akan hari jadi yang panjang. Yang ternyata, jadi hari yang membukakan sesuatu dalam dadaku.

*

Nenek ini adalah bucin yang tak lekang oleh zaman.

“Berhenti sebentar di sana,” pinta nenek.

Aku meminggirkan mobil. Untung ayah meminjamkan mobilnya. Malas sekali aku kalau harus membawa nenek dengan transportasi umum.

Kami berhenti. Nenek lalu menunjuk satu buket bunga cukup besar. Setelah mengeluarkan uangnya, nenek menerima bunga itu seperti seorang remaja SMP. Senyum malu-malu, sembari menyembunyikan wajahnya agar tak ada yang melihat.

Perjalanan kami lanjut. Tak lama, kami sampai di tempat pemakaman. Dari parkiran, aku membimbing nenek hingga kaki kami berhenti di salah satu pusara.

Pusara Kakek. Pusat semesta kebucinan nenek.

Entah pelet apa yang dulu dipasang kakek, sampai-sampai nenek begitu menyayanginya. Aku juga tak pernah bertemu kakek. Ia meninggal sebelum aku lahir.

Kencan ini menek lakukan setiap akhir pekan. Rutin selama hampir tiga puluh tahun. Biasanya ibu yang menemani, tapi kali ini terpaksa akulah yang menemaninya.

Setelah membiarkan nenek berdoa, mengelus-elus batu nisan kakek, berbicara dari hati ke hati, akhirnya kami pulang. Aku takzim juga. Ternyata cinta yang abadi itu mungkin betulan ada. Lihatlah wajah nenek. Dia betulan seperti baru pulang kencan.

Mungkin di zamannya, kencan berbeda dengan zaman sekarang, tapi tentu rasanya ada mirip-miripnya. Mungkin pula, dulu nenek ditembak kakek dengan bunga, atau dengan martabak, atau dengan sapu tangan. Tak tahulah. Pastinya tak mungkin lewat chat WA.

Di perjalanan dari pusara ke mobil, akhirnya aku penasaran juga.

“Nek, ceritain dong. Dulu gimana kakek ngelamar nenek, nembak gitu,” tanyaku bercampur tawa.

“Ih, nembak nembak? Belanda?” canda nenek.

“Bukan, Nek, itu loh kalau anak zaman sekarang kan menyatakan cinta gitu-gitu.”

Nenek tertawa kecil sekali lagi. Aku terus membujuknya, menggodanya agar mau bercerita. Berbagai cerita ia lemparkan, yang aku tahu itu ngasal dan bohong semua.

“Ayo dong, Nek. Ceritain,” candaku mulai hilang.

Nenek pun terdiam. Badannya berbalik sedikit, menoleh ke kuburan kakek yang sudah jauh di belakang.

“Gak ada dulu nembak-nembak. Kakek dan nenek, langsung lamaran.”

“Wuihhh, gimana tuh kakek berani ngelamar?”

Nenek menggeleng sambil tertawa.

“Nenek yang ngelamar.”

Aku terdiam.

“Ma … maksud nenek?”

“Lebih tepatnya, nenek dan orang tua nenek. Kalau orang zaman dulu kan banyak yang dijodohin ya .…”

“Jadi nenek dijodohin?” Aku memotong

“Iya, tapi sama kakek kamu enggak.”

Aku makin bingung.

“Jadi ada yang datang ke rumah, mau ngelamar nenek. Ayah sama ibu nenek sih suka dengan orang itu, tapi mereka tanya dulu anaknya, mau nggak.”

“Terus kenapa nenek gak mau?”

“Nenek gak bilang gitu. Gak bilang mau atau nggak.”

“Lah, terus?”

“Ya, ayah nenek tanya, sebelum menerima atau menolak perjodohan dengan pria tadi, kamu ada tidak, nama yang terpikirkan?”

“Oh, terus terus?” Aku makin antusias.

“Ya, nenek bilanglah ada. Dia itu kakekmu. Habis itu, ayah nenek datang tuh ke keluarganya. Eh, ternyata dia mau juga. Jadinya, yang dijodohin pertama kali itu, nggak jadi deh, jadinya sama kakek.”

“Dih? Gitu? Kok, bisa sih, Nek?”

“Ya, bisa, namanya juga zaman dulu.”

Jawaban itu jelas tak membuatku puas. “Maksudku, emang bisa ya gitu? Minta orang tua perempuan yang menyatakan perasaan, ingin menikah?”

“Loh, kamu gak pernah dengar cerita Siti Khadijah? Perempuan yang melamar lelaki terbaik sepanjang masa.”

Seketika aku terdiam. Siti Khadijah, memang melamar Baginda Rasulullah Muhammad, lewat perantara. Jika perempuan paling istimewa saja berani melakukannya, maka aku yang bukan siapa-siapa ini, ada masalah apa? Aku masuk ke dalam mobil dengan perasaan betapa sok mantapnya diriku.

Sebelum memasukkan persneling mobil, nenek menggengam tanganku.

“Perempuan juga punya hati, sama seperti laki-laki. Boleh juga mengungkapkannya. Dari pada dibawa seumur hidup, terus mikirin itu terus?”

Overthinking maksud nenek?”

“Ya, begitu, itulah.”

Seketika nenek tertawa, lalu melanjutkan kalimatnya. “Kita berhak menentukan dengan siapa kita hendak menghabiskan hidup. Laki-laki itu kadang otaknya sempit. Ada yang pikirannya kerja terus, sehingga lupa hal lain yang tak kalah penting. Pikirannya ada di satu hal saja, tidak bisa juga menebak-nebak hati perempuan. Makanya perlu berterus terang, laki-laki bukan dukun.”

“Iyam tuh, Nek. Otaknya sempit laki-laki.” Aku membalas dengan tawa saja.

“Meski begitu, hatinya juga luas. Begitulah kakekmu.”

*

Gila saja.

Mana mungkin aku begitu. Menyatakan perasaan duluan. Apalagi meminta ayah dan ibu melamar laki-laki yang aku taksir. Terlalu ekstrim.

Ini zaman edan. Pasti aku akan dicap terlalu agresif, wanita rendahan, dan segala hal yang buruk-buruk. Bukankah sejatinya perempuan itu menanti dan menanti? Gengsi dong, kalau aku yang harus menyatakan perasaan duluan.

Meski begitu, mungkin ada sedikit cerita nenek yang bisa aku praktikkan. Aku terpikirkan untuk membuat situasinya terbalik.

Ya, ada satu nama. Namanya Riko. Dia adalah karyawan dari kantor seberang, yang gedungnya bersamaan dengan kantorku. Kami sering berpapasan awalnya. Lalu pernah memesan makanan di antrian yang sama. Klasik sekali. Lalu satu ketika meja tak ada yang kosong, kecuali mejaku. Maka, Riko ini permisi minta izin duduk berhadap-hadapan.

Dari kokarde yang melingkar di lehernya, dari situlah aku tahu kalau kami bekerja di satu gedung yang sama. Meski perusahaannya berbeda. Lambat laun, kami jadi sering tak sengaja bertemu jam makan siang. Lama-lama, jadi teman dan sering berbagi cerita basa-basi tentang kerjaan masing-masing.

Kemudian hari kami bertukar nomor telepon, dengan alasan yang amat nyata dibuat-buat.

Kalau mana tahu ada lowongan di tempat kerja gue, dan lo cocok. Mana tahu bisa gue bajak.

Basa-basinya yang kurang smooth kala itu. Riko adalah manajer personalia, dan memang bekerja di bagian perekrutan.

Hubungan kami hanya sebatas itu saja. Meski sesekali bercanda di meja makan, chat-chatan hingga tengah malam, jalan sebentar keliling mal selepas gajian, sesekali makan di restoran, dan pernah juga nonton bioskop. Nah, yang nonton bioskop ini juga alasannya tampak amat dibuat-buat.

“Sibuk banget gue, gak sempat ikut bareng teman-teman kantor,” katanya waktu itu. Please dong lo mau temenin gue, biar gue gak dipecat dari circle pertemanan di kantor gue nih. Kan gak asik kalau ngobrolin film itu guenya gak tahu apa-apa.”

Sungguh basa-basi busuk sekali.

Ya, hubungan kami hanya sebatas itu. Tak ada yang spesial. Dia juga tak pernah menyatakan apa-apa. Meski lumayan juga aku jadi tempat curcolnya. Apalagi tentang mantan-mantannya, sejak masa SMA, masa kuliah, hingga yang terakhir, yang kini satu perusahaan dengannya.

Tak ada yang spesial sekali bukan? Biasa-biasa saja.

Nah, sungguh tak terbayang olehku, jika harus menyatakan duluan pada manusia bernama Riko ini. Pada manusia yang jelas-jelas hanya basa-basi saja, tak pernah benar-benar ada sesuatu.

Gila saja.

Hanya saja, sekarang aku terpikirkan hal lain. Aku harus step up the game, alias memberi pancingan. Harus bisa membuatnya yang menyatakan duluan. Tentu saja, gengsi dong kalau harus aku.

*

Sebuah jari duluan memencet tombol lift.

“Pagi, Tami,” sapanya dari samping

“Pagi.” Aku kikuk. Ternyata itu Riko

Aku tepuk pundaknya pelan dengan ponselku. “Ah, elu ngagetin aja.”

Itu dia step up the game pertamaku. Mulai memberi kontak fisik, meski tak benar-benar menyentuhnya.

Dia tersenyum, senyum yang agak beda dari biasanya.

Lift berbunyi, dan dia turun di lantainya. Tak ada percakapan berarti, selain basa-basi saja. Namun, begitu keluar lift, begitu aku sampai pula di mejaku, sebuah pesan masuk.

Tentu saja itu lagi-lagi ajakan makan siang.

“Boleh aja, tapi gue ama teman-teman gue, gimana?” tanyaku.

Ini dia step up the game yang kedua. Jika dia memang punya rasa padaku, setidaknya dia akan menolak kalau harus beramai-ramai. Setidaknya, dia punya keinginan kalau waktu makan siang itu hanya untuk kami berdua saja.

“Oh, yaudah, boleh-boleh aja. Kalau gitu, makan siang besok elo yang ikut gue dan teman-teman gue ya.”

Gubrak.

Betul ternyata kata nenek. Otaknya dangkal.

Dua hari itu, makan siang aku lalui dengan situasi kontras. Saat dengan teman-temanku, malah canggung. Mereka malah ceng-cengin aku dengan Riko. Sementara Rikonya sendiri, tampak tak ada peka-pekanya.

Hari kedua saat dengan teman-temannya, malah yang ada aku jadi nyamuk. Mereka semua tampak heboh dengan urusan pekerjaan. Aku lihat para rekan kerja perempuannya Riko, dari gelagatnya sih, tak ada yang punya hubungan cukup spesial dengan Riko.

Hari ketiga aku ada meeting di luar daerah kantor. Sehingga tak sempat makan siang atau bertemu dengannya. Malamnya, dia bertanya ke mana aku hari ini. Ternyata dia mau ada yang disampaikan.

Dhegggg.

Apa pancinganku mulai tersangkut?

Besoknya, ternyata dia malah lagi-lagi curhat colongan.

“Mantan gue pas kuliah mulai ngasih kode-kode nih, gimana ya. Kadang sampai bikin gue gak fokus kerja.”

Dia curhat ngalor ngidul, tanpa tahu betapa kesalnya aku mendengarnya.

“Saran gue sih, lo fokus ama yang ada di depan lo aja,” kataku. “Itu maksudnya kerjaan lo. Nah, kalau udah beres, udah jam pulang, baru deh tuh gubris mantan lo. Ajak ke mana kek. Bahas baik-baik.”

Oh, Tuhan, bagaimana ceritanya aku bisa memberi saran begini.

Tentu saja, sejak kenal Riko di pertemuan tak sengaja itu, aku sudah dan selalu menjadi detektif. Hampir sebagian seluk beluk masa lalunya, aku sudah tahu. Setiap ucapannya saat makan siang, saat keliling mal lepas gajian, atau saat nonton, adalah sumber informasi baru yang kemudian aku simpan, untuk jadi bahan kepo di malam harinya. Eits, tentu saja aku melakukan ini bukan karena dasar apa-apa. Toh, memang tak ada hal spesial juga di antara kami berdua.

Beberapa waktu setelah itu, Riko akhirnya meladeni sang mantan untuk bertemu. Pertemuan yang menurutnya nggak banget. Pada siapa lagi dia bercerita setelah itu, kalau bukan padaku.

Mereka akhirnya bertemu lagi, lagi dan lagi. Perlahan aku pun melepaskan. Rasa-rasanya percuma semua usahaku.

Mungkin aku yang berharap berlebih. Padahal jelas sejak awal tak ada yang spesial di antara kami. Hanya kebetulan bertemu di tempat makan, di satu-satunya meja yang kosong.

Waktu berlalu, dan aku kembali pada prinsip yang dulu begitu keras aku copy paste dari Jessica. Hingga satu ketika, sepulang jam kantor, Riko mengajakku bertemu.

“Kalau kemalaman, nanti gue anterin elo, deh. Suer!” katanya.

Benar saja, belum jam pulang kantor, dia sudah menunggu di bawah lift.

“Gue gak ngerti sih, belum balikan lagi aja, udah posesif banget. Udah ngatur-ngatur ini itu.” Ia memulai curhat pembuka.

Yang hingga jam setengah sepuluh malam, curhatan itu tak juga selesai. Atau setidaknya terpaksa selesai, karena mobilnya sudah berhenti di depan pagar rumahku. Bayangkan, dari lift kantor, parkiran, restoran, mal, bioskop, curhatnya itu ke itu saja.

“Tapi bener kata lo, Tam,” katanya begitu aku turun. “Kayanya gue mesti fokus sama yang ada di depan gue aja. Dan gue gak boleh gitu aja, ngejalanin hubungan yang udah pernah ga jelas.”

Saat itu jantungku memompa seperti tabuh. Akankah dia turun dari mobil, menggenggam tanganku, lalu menyatakan perasaannya?

“Iya, gue harus fokus,” katanya lagi meyakinkan.

Hei Riko, cepatlah kalau memang iya. Kalaupun lo udah ngediamin gue beberapa waktu ini, gue tetap mau kok kalau lo baru bilang sekarang. Teriakku dalam hati. Buruan! Buruan! Gak sabar bilang iya.

“Kalau gitu, gue pulang dulu ya. Makasih, Tami! Gue bakalan minta mantan gue ngejauh, karena gue harus fokus ke karir gue. Ini masa-masa genting gue promosi atau nggak, lo doain gue ya!”

Aku kulum lidahku. Senyum terpaksa aku keluarkan, semoga tak terlihat kecut.

*

Satu setengah bulan ke depan, tak banyak aku berkontak dengan Riko. Hatiku kembali ditarik ulur. Aku pun kembali memantapkan prinsip lama yang aku tiru dari Jessica.

Riko pun setiap hari tampaknya jarang mengunggah apapun ke media sosial. Kalaupun ada, ya tentang progres pekerjaannya. Tentang bagaimana antusiasnya dia dengan promosinya.

“Akhirnya beban lepas satu! Mari meroket!” unggahnya waktu itu.

Sepertinya jalan menuju promosi itu makin mulus. Aku pun perlahan sudah kembali mengikhlaskan. Tampaknya benar, aku tak bisa membuat pancingan untuk memikat hati lelaki agar bisa menyatakan perasaannya padaku.

Mungkin aku akan pasrah saja. Menanti apa yang tak pasti. Kalau kelak ada yang datang, maka boleh jadi aku terima-terima saja.

Bulan ketiga, muncul kejadian mengejutkan itu.

The best day ever!” Begitu status Riko yang sudah jarang mengajakku makan siang.

Berkat skill-ku dalam menjadi detektif digital, maka aku simpulkan, dia berhasil promosi. Dan tentunya akhirnya balikan dengan mantannya itu. Lihatlah foto mereka, gembira sekali.

Waktu berlalu lagi. Kini sudah dua bulan Riko promosi, dan tak sekalipun lagi kami makan siang bersama.

Kalau sesekali aku melihatnya dari jauh, maka akan aku usahakan agar tak bertemu. Entah bersembunyi, balik kanan, atau pura-pura sedang menunggu teman-temanku.

Namun, lama-lama tak terhindarkan juga. Riko menarik tanganku, memaksa untuk duduk bersamanya di satu meja.

“Sumpah ya lo, Tam. Susah banget dihubungi sekarang. Eh, lo mesti tahu, gue mau ngelamar pacar gue!”

Dheggg.

Hei, Tami kenapa lo gemetar. Bukannya lo udah ikhlas dan gak peduli lagi ya? Kataku pada diri sendiri.

“Tam, please gue mau beli cincin tapi gak tahu ukurannya. Ntar jam pulang kerja lo mau gak temenin gue.” Dia mengambil tanganku dengan enteng begitu saja. “Nah, ini, kayaknya seukuran nih sama pacar gue.”

*

Anak salah satu sahabatku akikahan. Momen yang rasanya pas untuk membuyarkan ingatanku akan kejadian beli cincin itu. Tak peduli mereka semua sudah bersuami, yang jelas aku ingin main dengan anak-anak dan bayi mereka.

“Wah, nanti kalau lebaran, Mami Tami bagi-bagi THR mesti banyak nih,” candaku, sambil menghitung jumlah anak-anak sahabatku.

Ternyata bermain dengan anak-anak cukup melelahkan. Tak terbayang kalau aku betulan harus jadi ibu kelak. Apalagi, ada sahabatku yang harus melepas pekerjaannya, karena harus mengurus anak di rumah. Pastilah berat sekali.

Akikahan itu selesai. Aku pamit dan kali ini pulang bersama Jessica.

“Tam, gue udah sepakat sama calon suami gue kalau kita nikah, dia ikut gue ke luar negeri, dan gak punya anak dulu.”

“Bentar-bentar. Calon suami?” tanyaku memburu.

Maka terjadilah pertukaran cerita antara aku dengan Jessica. Bagaimana ia yang selama ini tampak kokoh dengan prinsipnya, akhirnya goyah juga. Rupa-rupanya aku tak benar-benar mengenal sahabatku ini. Prinsipnya itu, sejak dulu sudah begitu. Menikah atau tidak, ya tidak masalah. Kalau pun akan menikah, maka harus ada ruang negosiasi yang sama-sama menguntungkan. Apalagi bagi Jessica yang ingin mengejar pendidikan.

“Lo gimana?”

Terang saja, aku tak berani bercerita apa-apa. Namun, ternyata Jessica adalah sahabat yang lebih baik daripada aku. Dia bisa membaca raut wajah yang jelas, tak peduli seberapa dalam aku menyembunyikannya.

Akhirnya, lepas juga aku bercerita tentang Riko.

“Wah, kalau gitu saran gue, lo tetap harus sampaiin sih, Tam.”

“Gila lo, ya kali. Udah mau lamaran. Gue gak mau ngerusak hubungan orang.”

“Bukan soal itu, tapi soal elo yang bakal bawa ini seumur hidup lo. Kalau soal ngerusak hubungan orang, kita pikirin caranya. Harus jelas-jelas bilang kalau lo udah gak mengharapkan dia lagi, tapi saat bersamaan lo juga harus terang-terangan kalau lo dulu punya rasa sama dia.

Dulu? Dulu? Bahkan sekarang masih Jess!

*

“Tam, bisa!”

“Ingat, lima detik aja lo natap mata dia! Seumur hidup lega!”

“Semangat, sis!”

“Udah takis aja lah!”

“Iya, udah di depan tuh orangnya, mana tahu berubah pikiran.”

“Hush, jangan gitu, kita gak mau juga ngerusak hubungan orang lain yang udah mau lamaran.”

“Gak jadi sama dia gak apa, yang penting lega.”

“Bener, tuh! Ini soal perasaan, gak bisa neko-neko.”

“Sini-sini bentar, makeup-nya udah cantik belum, sini gue lihat.”

“Buruan, Tam, kalau lo balik ke sini nanti masih nggak jadi juga, wah, kita pecat lo jadi sahabat.”

“Ya, gak gitu juga sih, ntar kita cariin sama-sama deh yang cocok buat elo.”

Aku tak bisa fokus.

“Udah-udah, kalian diam dulu bisa gak sih. Ini gue lagi tarik nafas.”

Mereka serempak terdiam. Aku pun mengambil ancang-ancang. Berjalan yang rasanya amat pelan. Jarak yang rasanya amat jauh.

Tepat di meja tempat pertama kali kami makan siang berdua. Riko sudah duduk di sana.

“Nah ini dia, weekend lo datang ke acara lamaran gue dong.”

Aku mengangguk cepat. “Cie, asik nih,” jawabku sambil mengacungkan jempol.

Riko terus antusias bercerita. Keberanian yang telah aku siapkan, runtuh sudah sejak pertama kali ia menyapa.

Aku genggam erat tanganku di bawah meja. Menanti saat yang tepat. Tiap rasanya tepat, malah tak jadi. Dan tetap, hingga makan siang itu selesai, tak juga aku berani mengucapkan.

Benar saja, tampak gurat kecewa di wajah para sahabatku. Namun, mereka paham, dan berusaha menenangkan. Memeluk dan mengusap-usap pundakku. Aku pun berusaha tak emosional di kantin kantor ini.

Sore menjelang, jam kantor pun habis. Sepanjang hari, aku memikirkan alasan bohong apa yang masuk akal, agar aku tak harus datang ke acara lamaran itu. Jelas aku masih punya nurani, tak mungkin aku merusak rencana Riko dan kekasihnya.

Akhirnya aku memberi alasan pada Riko harus menemani nenek ke pusara kakek. Akhir pekan ini, sama seperti waktu itu. Nenek tampak romantis sekali.

“Nek, kalau waktu itu ternyata kakek gak mau, nenek bakal gimana? Maksudku, kalau kakek gak mau, apa nenek bakal usaha terus, atau terima lamaran orang yang satu lagi?”

Nenek tersenyum saja. Lalu mengangkat bahunya.

“Nenek gak tahu. Dan biar tahu, ya harus disampaikan. Harus ditanyakan.”

Itu dia yang tak mungkin lagi aku lakukan.

“Nek, kalau misal nih ya, nenek akhirnya sama yang satu lagi, sama yang ngelamar nenek itu. Gak jadi sama kakek. Eh, gak tahunya, satu hari kakek datang juga ngasih tahu perasaannya sama nenek. Terus nenek gimana?”

“Ya, perasaannya nenek terima, nenek juga akan jujur kalau pernah punya perasaan pada kakek.”

“Terus nenek bakal ceraikan orang itu, terus nikah sama kakek, apa gimana?”

Nenek menggeleng. “Kamu ini ada-ada aja pertanyaannya. Kalau kaya gitu, ya kamu gak ada dong,” canda nenek.

*

Sebulan setelah Riko lamaran.

Aku akhirnya berhasil, menyatakan perasaanku duluan. Ya, pada lelaki itu.

Setidaknya, mulai malam ini dialah yang akan overthinking. Bukan aku lagi. Biar dia tahu rasa, bagaimana setahun belakangan melayani bayangannya yang terus berlari-lari di kepalaku. Apalagi setiap menjelang tidur.

Namun, aku juga sudah bilang, ini bukan dalam rangka merusak urusan baiknya dengan sang kekasih yang setengah tahun lagi akan menikah. Namun, agar dia tahu dan agar aku juga lega. Juga, agar dia paham batas, bahwa sebaiknya mulai sekarang, kami tak perlu dekat-dekat lagi. Agar dia juga tahu — ini yang paling penting — betapa beruntungnya perempuan itu.

Mati tegak Riko saat mendengar ucapanku. Dan seperti yang aku duga, dia memang tak menduga kalau aku ternyata punya perasaan. Betul kata nenek.

Begitu semua selesai, kami berpisah sebagai teman. Aku bisa melihatnya berjalan dengan gamang, atau lebih tepatnya, berjalan salah tingkah. Lihatlah itu, tumitnya tampak tak sinkron. Dengkulnya tampak keluar orbit. Ternyata efek ditembak olehku, membuat dia lupa cara jalan. Padahal ibu dan ayahnya pasti senang sekali saat waktu dia bayi, pertama kali bisa berjalan. Kini semua kebahagiaan orang tuanya, pupus oleh pernyataan rasa nyamanku.

Untunglah, komitmennya untuk menikahi perempuan itu tak ikut-ikutan pupus. Aku malah senang, aku malah merasa lepas. Batu yang ada di kepalaku, terasa luruh berderai hari itu.

Sebulan menjelang pernikahannya, aku menerima undangan.

Riko dan Sasha.

Begitu tertulis di bingkisan undangan itu.

Tak ada perasaan terbebani, tak ada rasa sakit. Aku malah berusaha tampil sebaik saat menghadiri pernikahannya. Mungkin akan beda cerita, jika waktu itu aku tak pernah mengungkapkan perasaanku.

Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang ada dalam buku “Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat Meninggalkanku.” Khusus buku yang satu ini, syarat usia bacanya adalah 17 tahun minimal. Dan hanya ada versi e-book yang bisa kamu miliki lewat Google Play (bisa iOS dan Android). Link e-book: https://play.google.com/store/books/details/J_S_Khairen_Hal_yang_Tak_Kau_Bawa_Pergi_Saat_Menin?id=2hIYEAAAQBAJ

***

--

--

J.S. Khairen

📒 Novelis yang membuatmu candu 📝 Daftar karya & cara memiliki buku: link di bio (buku fisik & ebook) 📱CP 081212134951 | linktr.ee/jskhairen