Spek Pasangan & Mandi

J.S. Khairen
5 min readAug 15, 2021

Oleh: J.S. Khairen

Adakah yang masa kecilnya seperti ini? Kalau ada, kita berasal dari satu kelas ekonomi sosial. Kita hidup di tahun yang hampir-hampir sama.

“Sudah mandi?” Tanya ibu pemilik TV.

Kalau kita mengangguk, maka dia izinkan masuk ke rumahnya. Menonton bersama anaknya. Tak perlu pun kita mengangguk, dia bisa lihat sendiri apakah di pipi dan kening kita sudah dicemongkan bedak putih atau belum.

“Sudah.” Kata kita, sembari bercermin ke jendela rumah ibu pemilik TV. Padahal jelas-jelas belum. Anak kecil bau keringat, muka kusam bermain seharian, punya jam terbang memalukan kalau soal berbohong.

Maka, kalau belum mandi, jangan harap kita diizinkan masuk. Mengintip dari ujung jendela saja kena usir. Besok-besok, saat kita melangkah dekat-dekat rumahnya saja, matanya sudah melotot duluan.

“Mau Darius, gamau belajar jadi Donna.

Mau Ainun, udah kaya Habibie belum?

Mau Dilan, lupa kalau Milea ga banyak cingcong.

Kaca mana kaca?”

Pentingnya Ngaca dengan Benar

Akhir-akhir ini kembali lagi ke permukaan, pembahasan tentang spek pasangan. Paling gurih itu adalah soal standar gaji cowok, pasangan harus tinggi atau putih, dan berbagai kriteria lainnya.

Saya tidak akan membahas soal fisik, karena tiap mata punya cara berbeda memandang ciptaan Sang Mahapasti. Anda ganteng di mata Emak Anda, belum tentu ganteng di mata Emak Dia.

Ini memang topik yang tak ada habisnya di sosial media, di berbagai tongkrongan, juga di kepala kita sendiri. Pasangan seperti apa yang cocok, pas, serta layak untuk kita.

Jika tadi si anak kecil berkaca di pantulan jendela, yang jelas-jelas halu dan ketahuan bohongnya, maka, apakah kita sudah berkaca di cermin bersih yang benar? Jangan-jangan, kita hanya bercermin pada pantulan jendela halusinasi. Jendela yang kumuh dan berdebu. Yang jelas sekali bohongnya, yang jelas sekali tidak layak untuk digunakan untuk tempat berkaca.

Mana yang Realistis, Mana yang Halu?

Saya pernah membahas, bahwa Kaum Hawa juga berhak menentukan pasangannya siapa. Kenapa titik beratnya Kaum Hawa? Karena, anggapan umum di Indonesia, perempuan itu haruslah menunggu terus. Hilih, tak tahu mereka, Ibunda Siti Khadijah saja, sudah mencontohkan ratusan tahun lalu. (Soal ini, pembahasan lengkap serta diskusi bersama pembaca, ada di tautan berikut: https://www.instagram.com/p/CRyhwz-J99n/?utm_medium=copy_link)

Maka, jika laki-laki dan perempuan sama berhaknya dalam memilih dengan siapa ia akan hidup, tentu saja hak itu diiringi dengan kewajiban. Pakailah kaca yang tepat. Bukan dengan kehaluan. Kewajiban ini, tentunya boleh kita terjemahkan menjadi; spek diri sendiri.

“Ya minimal 25 juta lah, kalau cowok.” Apakah ini realistis, atau halu? Lagi-lagi tergantung siapa yang bicara, tergantung bagaimana ia memperlakukan kewajiban pada dirinya sendiri.

Kalau menurut dia itu realistis, ya pasti ada pertimbangan, pasti dia memiliki spek yang pas dengan ekspektasi itu. Aduh, kok menggunakan kata ‘spek’ gak enak banget ya? Kaya motor aja.

Untungnya, di naskah “Kami (Bukan) Fakir Asmara,” tidak ada kata ini. Untungnya, naskah itu sudah selesai. Kalau belum, waduh, saya bisa kebobolan juga menggunakan kata itu. Bukankah kita lebih senang, mengobjektifikasi sesuatu? Entah dalam tontonan, bacaan bahkan hingga obrolan dan pemikiran.

Tidak ada yang Baru

Tidak ada yang baru dalam pemilihan pasangan hidup. Dari sejak manusia hidup di goa, hingga hari ini, dua kata paling tepat adalah ‘nyaman’ dan ‘pas.’ Tidak pernah ada kata halu dan angan.

Untungnya kita manusia, bukan baut di motor. Kalau baut di motor, sudah pas ukurannya begitu keluar dari pabrik, tak bisa dipasangkan dengan yang ukuran yang berbeda. Cobalah Anda masukkan baut stang ke knalpot, mana bisa. Kena razia Anda nanti. Dua kali kena razianya. Yang pertama oleh polisi, yang kedua oleh teknisi-teknisi di Jepang sana. Lain cerita kalau manusia.

Jika kapasitas kita hari ini kecil, jika menurut kita belum setara dengan sosok yang kita dambakan, maka jawabannya adalah meningkatkan kualitas diri. Cara untuk ini, berserakan di internet. Anda saja mungkin yang malas mencarinya.

Potret Pasangan Ideal

Kita memotret pasangan ideal itu seperti apa? Pernah juga saya survei di tautan ini. (https://www.instagram.com/p/CPk9SwrJhzf/?utm_medium=copy_link) Lalu ini adalah survei sebaliknya, apakah kita sudah ideal untuk jadi pasangan seseorang? (https://www.instagram.com/p/CQD12aApAK5/?utm_medium=copy_link).

Dari ragam jawabannya, saya tertawa dan terdiam. Tertawa karena ternyata saat bicara kriteria yang kita mau, yang muncul hebat-hebat semua. Terlalu lengkap, sampai saya sulit membayangkan ada tidak ya manusia yang begitu. Saat dikembalikan ke diri sendiri? Di sinilah saya terdiam.

Lalu apa yang harus dilakukan, saat kita sendiri sadar, bahwa selama ini kita memasang standar ketinggian? Misal, ingin seperti selebritis X dalam hal Y. Nah, ini kacau. Selebritis itu tak mau sama Anda. Jangankan mau, tahu Anda saja dia tidak.

Mungkin ini bercanda-canda saja bagi sebagian besar orang soal selebritis ini. Tapi ada juga yang begitu serius, sampai tertanam di kepalanya, di alam bawah sadar. Yaitu ingin ‘spek’ naga seperti seorang selebritis, seorang pengusaha terkenal, dst. Sementara diri sendiri seperti cacing. Sehingga, setiap ada yang mendekat, dia langsung memasang tembok tinggi. Terjebak dalam halusinasi bahwa dia adalah seekor naga juga.

Periksalah diri kita sendiri. Jika terlalu tinggi harapan, dibantingnya juga sakit sekali.

“Ada yang abadi di hati namun tak bisa dinikahi.”

Begitu kata Kang Maman dalam salah satu judul karyanya. Jika abadi di hati karena memang berbagai situasi tak memungkinkan, seperti urusan kepercayaan dsb, apa boleh buat. Ini sudah lain soal. Tapi kalau selalu di hati, karena kita tak pernah bisa menggapai taraf ‘pas’ untuk layak bersama dia, bagaimana?

Pergilah Mandi

Ini cara pertama sebelum memperbaiki kualitas diri. Siapa yang mau sama Anda kalau Anda bau? Mau Anda good looking sekali pun, kalau baunya seperti kerak Selangkangan Biawak Air Payau, yang dicampur muntahan Paus Sperma
Jantan, ya mana ada yang mau.

Eh gak deng, kalau muntahan Paus Sperma Jantan, meski bau sekali, saya mau sih. Mahal sekali itu kalau dijual (Tentang ini ada di cerpen Ambergris, dalam buku kumcer ‘Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat Meninggalkanku’).

Ya begitulah. Pergilah mandi.

Keruk daki Anda. Keruk juga kelemahan diri Anda. Perbaiki apa yang bisa. Jika sudah, kenakan pakaian yang baik. Kalau belum punya pakaian yang hebat, bekerja keraslah, menabunglah, agar bisa beli baju yang hebat pula.

Setelah pakai baju, semprotlah parfum sedikit. Parfum yang dibuat dari ambergris, beda sekali dengan parfum-parfuman. Yang satu baunya berkelas, semua hidung sepakat. Yang satu lagi, baunya memuakkan. Membuat kita ingin muntah. Nah Anda punya parfum yang mana?

Jika sudah wangi, maka pergilah ke rumah tetangga Anda. Dari mata dan hidungnya, ibu pemilik TV itu bisa melihat dan mencium, apakah Anda sudah layak dan pas atau belum nonton TV dengan anaknya. TV yang memutar cerita tentang kehidupan.

Salam. J.S. Khairen.

Rongga Langit Padang, 15 Agustus 2021.

Subscribe channel telegram “J.S. Khairen Readers Club” gratis: https://t.me/jskhairenclub

IG, Twitter, Youtube, Tiktok: @JS_Khairen

--

--

J.S. Khairen

📒 Novelis yang membuatmu candu 📝 Daftar karya & cara memiliki buku: link di bio (buku fisik & ebook) 📱CP 081212134951 | linktr.ee/jskhairen